
JAKARTA, KOMPAS.com – Koalisi masyarakat sipil untuk reformasi sektor pertahanan menyinggung kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengirim siswa yang dianggap nakal ke barak TNI.
Hal itu disampaikan anggota koalisi dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Zainal saat menyerahkan gugatan uji formal UU Nomor 3/2025 tentang TNI ke Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (7/5/2025).
Dia mengatakan, uji formal yang dilakukan oleh koalisi masyarakat sipil sekaligus sebagai peringatan kepada kepala daerah yang menormalisasi praktik militerisme yang dilakukan kepada sipil.
“Bahkan misalnya seperti yang terjadi di Jawa Barat, anak-anak dimasukkan ke barak militer,” ujar Zainal.
Baca juga: Resmi Ajukan Uji Formil, Koalisi Masyarakat Sipil Siapkan Uji Materi UU TNI ke MK
Dia mengatakan, praktik normalisasi militerisme di ranah sipil akan merusak sistem demokrasi di Indonesia.
“Nantinya akan berakibat kepada penegakan hak asasi manusia dan kemudian akan mempersempit ruang-ruang supremasi sipil,” ucapnya.
Selain soal anak dibawa ke barak, Zainal juga menyinggung TNI yang juga dilibatkan dalam penertiban kawasan hutan.
Padahal menurut Zainal, penertiban kawasan hutan adalah ruang penegakan hukum yang bukan kewenangan dari militer.
“Yang artinya di sini TNI digunakan sebagai alat untuk mengusir masyarakat yang sedang berkonflik di isu-isu agraria dan tentu masih banyak lagi,” imbuh dia.
Anggota koalisi dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Arief Maulana mengungkap sejumlah tuntutan dalam uji formal yang mereka ajukan.
Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil Gugat UU TNI ke MK: Tunda Juga Pemberlakuannya!
Tuntutan dalam provisi meminta agar MK menunda pemberlakuan UU TNI dalam putusan sela, sebelum ada putusan final dan mengikat.
“Putusan sela atau putusan provisi agar Mahkamah Konstitusi, para Hakim Mahkamah Konstitusi untuk kemudian menunda pemberlakuan Undang-Undang nomor 3 tahun 2025 tentang perubahan atas Undang-Undang TNI sampai dengan adanya putusan akhir Mahkamah Konstitusi. Itu yang pertama,” ujar Arief.
Dalam provisi, Arief juga meminta agar MK memerintahkan Presiden Prabowo Subianto agar tidak menerbitkan peraturan pemerintah yang berkaitan dengan UU TNI yang baru.
“Kami juga kemudian menuntut dan juga meminta kepada Hakim Mahkamah Konstitusi untuk tidak mengeluarkan kebijakan dan atau tindakan strategis yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang, revisi Undang-Undang TNI sampai dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi,” ucapnya.
Masih dalam provisi, permintaan agar eksekutif tidak mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan UU TNI yang baru harus diterapkan di segala sektor, termasuk untuk kementerian, lembaga, dan badan terkait.